Selasa, 22 Desember 2009

TUGAS PARASITOLOGI
MAKALAH
“HELMINTOLOGI”







OLEH
NAMA
NIM
: NURUSYIFAH
: K 100 060 053





FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2009



BAB I
PENDAHULUAN

Helmintologi adalah ilmu yang mempelajari parasit yang berupa cacing berdasarkan taksonomi, helmint dibagi menjadi :
1. NEMATHELMINTHES (cacing gilik)
Merupakan cacing kelas Nematoda mempunyai spesies terbesar diantara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit
a. Nematoda Usus
Yaitu cacing yang berada di usus manusia dan hewan lain. Sebagian besar daripada nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan disebut “soil transmitted helminths” yang terpenting bagi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, Oxyuris vermicularis dan Trichinella spiralis.

b. Nematoda Jaringan
Jenis cacing ini terdapat dalam jaringan tubuh hewan baik secara alami amupun sebagai parasit. Cacing yang termasuk dalam jenis nematoda jaringan yaitu Wucheria bancroffi, Brugia malayi, Brugia timori, Loa loa dan Onchocerca valvulus

2. PLATYHELMINTHES (cacing pipih)
a. Kelas Trematoda (cacing daun)
Pada umumnya cacing ini bersifat hermaprodit. Berbagai macam hewan dapat berperan sebagai hospes definitif cacing trematoda, antara lain yaitu : kucing, anjing, sapi, babi burung dan manusia. Menurut tempat hidup cacing dewasa dalam tubuh hospes, maka trematoda dapat dibagi dalam :
i. Trematoda Hati : Clonorchis sinensis, Opisthorchis felineus
ii. Trematoda Usus : Fasciolopsis buski
iii. Trematoda Paru : Paragonimus westermani
iv. Trematoda Darah : Schistosoma japanicum


b. Kelas Cestoda (cacing pita)
Cacing dewasa kelas Cestoda menenpeli saluran usus vertrebrata dan larvanya hidup di jaringan vertrebrata dan invertrebrata. Manusia merupakan hospes Cestoda ini dalam bentuk :
i. Cacing dewasa untuk spesies D.latum, T.saginata, T.solium
ii. Larva untuk spesies Diphyllobothrium sp, T.solium


























BAB II ISI
Elephantiasis

Elephantiasis atau lebih umum dikenal sebagai penyakit kaki gajah atau filariasis adalah suatu gangguan di pembuluh darah dan pembuluh limfe. yang disebabkan oleh cacing Wuchereria Bancrofti dan Brugia timori merupakan Nematoda jaringan. Sekitar 120 juta orang terinfeksi dengan organisme ini di berbagai negara tropis dan subtropis yang di tularkan melalui gigitan nyamuk Culex, Aedes dan Anopheles yang banyak hidup di sekitar masyarakat.
a. Morfologi cacing
Cacing penyebab filariasis berwujud mirip benang. Filarial dari genus wuchereria dan brugia. Di Indonesia cacing yang dikenal menjadi penyebab adalah wuchereria bancrofti, brugia malayi, dan brugia timori.
Cacing dewasa berbentuk silindris, halus seperti benang putih serta berukuran panjang 55-100 mm dan tebal 0,16 mm. Cacing jantan lebih kecil, 55 mm x 0,09 mm. Larva mikrofilaria sekali keluar jumlahnya bisa puluhan ribu larva bersarung berukuran 200-600 mikron x 8 mikron.
b. Vektor
Ahli parasitologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Saleha Sungkar menjelaskan, mikrofilaria masuk ke dalam tubuh manusia lewat nyamuk. Lebih dari 20 spesies nyamuk menjadi vektor filariasis. Nyamuk Culex quinquefasciatus sebagai vektor untuk wuchereria bancrofti di daerah perkotaan. Di pedesaan vektor umumnya Anopheles, Culez, Aedes, dan Mansonia. Spesies nyamuk vektor bisa berbeda dari daerah satu dengan daerah lain.
c. Siklus Hidup Cacing Filaria
Siklus hidup cacing Filaria terjadi melalui dua tahap, yaitu:
i. Tahap pertama
Perkembangan cacing Filaria dalam tubuh nyamuk sebagai vector yang masa pertumbuhannya kurang lebih 2 minggu. Siklus hidup pada tubuh nyamuk terjadi apabila nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terkena filariasais, sehingga mikrofilaria yang terdapat di tubuh penderita ikut terhisap ke dalam tubuh nyamuk. Mikrofilaria yang masuk ke paskan sarung pembungkusnya, kemudian mikrofilaria menembus dinding lambung dan bersarang di antara otot-otot dada (toraks). Bentuk cacing Filaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih 1 minggu, larva ini berganti kulit, tumbuh akan lebih gemuk dan panjang yang disebut larva stadium II. Pada hari ke sepuluh dan seterusnya, larva berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga tumbuh semakin panjang dan lebih kurus, ini yang sering disebut larva stadium III. Gerak larva stadium III ini sangat aktif, sehingga larva mulai bermigrasi (pindah), mula-mula ke rongga perut (abdomen) kemudian pindah ke kepala dan ke alat tusuk nyamuk.
ii. Tahap kedua
Perkembangan cacing Filaria dalam tubuh manusia (hospes) kurang lebih 7 bulan. Siklus hidup cacing Filaria dalam tubuh manusia terjadi apabila nyamuk yang mengendung mikrofilaria ini menggigit manusia. Maka mikrofilaria yang sudah berbentuk larva infektif (larva stadium III) secara aktif ikut masuk ke dalam tubuh manusia (hospes). Bersama-sama dengan aliran darah pada tubuh manusia, larva keluar dari pembuluh darah kapiler dan masuk ke pembuluh limfe. Di dalam pembuluh limfe, larva mengalami dua kali pergantian kulit dan tumbuh menjadi cacing dewasa yang sering disebut larva stadium IV dan stadium V. Cacing Filaria yang sudah dewasa bertempat di pembuluh limfe, sehingga akan menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi pembengkakan, misalnya pada kaki dan disebut kaki gajah (filariasis).
d. Patologi dan Gejala Klinis
Stadium akut ditandai dengan serangan demam dan gejala peradangan saluran dan kelenjar limfe, yang hilang timbul berulang kali. Limfadenitis biasanya mengenai kelenjar limfe inguinal disatu sisi dan peradangan ini sering timbul stelah penderita bekerja berat diladang atau sawah. Limfadenitis biasanya berlangsung 2-5 hari dan dapat sembuh dengan sendirinya, tanpa pengobatan. Kadang-kadang peradangan pada kelenjar limfe ini menjalar ke bawah mengenai saluran limfe dan menimbulkan limfangitis retrograd, yang bersifat khas untuk filariasis. Peradangan pada saluran limfe ini dapat terlihat sebagai garis merah yang menjalar ke bawah dan peradangan ini dapat pula menjalar ke jaringan sekitarnya, menimbulkan infiltrasi pada seluruh paha atas. Pada stadium ini tungkai bawan biasanya ikut membengkak dan menimbulkan gejala limfedema
e. Pengobatan dan Prognosis
Hingga saat ini DEC masih merupakan obat pilihan. Dosis yang dipakai di beberapa negara Asia berbeda-beda. Di Indonesia dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/kgBB / hari selama 10 hari. Efek samping DEC pada pengobatan filariasis brugia lebih berat, bila dibandingkan denganyang terdapat pada pengobatan filariasis bankrofti. Untuk pengobatan masal pemberian dosis standardan dosis tunggal tidak dianjurkan. Yang dianjurkan adalah pemberian dosis rendah jangka panjang (100 mg/minggu selama 40 minggu) atau garam DEC 0,2-0,4% selama 9-12 bulan





























BAB III
PENUTUP
Penanggulangan filariasis dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu pengurangan reservoir penular, penanggulangan vektor (nyamuk), dan pengurangan kontak vektor dan manusia. Khusus pengobatan massal, prosedur sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pengobatan massal sejak lama menggunakan diethylcarbamazine citrate (DEC) yang sudah dipraktikkan di 50 negara mencakup 496 juta orang. Di Indonesia sebanyak 11.699 kasus kronis filariasis ditemukan di 378 kabupaten/kota. Berdasarkan pemetaan didapatkan, prevalensi mikrofilaria di Indonesia sebesar 19 persen, yang berarti 40 juta orang yang tubuhnya membawa mikrofilaria. Indonesia pun berusaha memberantas penyakit tersebut dengan belakangan mengguyur DEC, albendazole, dan paracetamol ke jutaan warga, berharap si cacing mini tak lolos dari kepungan pembasmian



DAFTARPUSTAKA

Anonim, 2009 , Cacing Filaria Dan Penyakit “Kaki Gajah” online (http://www.juraganmedis.com/filariasis-penyakit-kaki-gajah.html diakses 4 Desember 2009)
Anonim, 2009, Cacing Mini Dan "Kaki Gajah", online (http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/11/19/06214245/cacing.mini.dan.kaki.gajah Diakses 4 Desember 2009)
Gandahusada, Srisasi, 2000. Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, UI pres. Jakarta

sel kanker T47D

A. JUDUL PENELITIAN
PENGARUH SEDIAAN TEH DAN INFUS KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L) TERHADAP KADAR MARKER α-MANGOSTIN DAN EFEK SITOTOKSIKNYA PADA SEL KANKER PAYUDARA (T47D)

B. LATAR BELAKANG MASALAH
Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh yang tidak normal. Sel-sel kanker akan berkembang dengan cepat tidak terkendali, dan akan terus membelah diri, selanjutnya menyusup ke jaringan disekitarnya (invasive) dan terus menyebar melalui jaringan ikat, darah dan menyerang organ-organ penting serta syaraf tulang belakang (Mangan, 2003). Dalam daftar Badan Kesehatan Dunia (WHO) penyakit kanker masuk dalam urutan teratas panyakit yang mematikan (Mulyadi, 1997).
Ada banyak jenis kanker diantaranya kanker payudara, kanker leher rahim, kanker paru dan lain sebagainya. Kanker payudara banyak diderita kaum wanita di Indonesia setelah kanker leher rahim (Meiyanto, 2003). Angka kejadian kanker payudara jauh lebih besar pada wanita dibanding laki-laki. Kemungkinan laki-laki terkena kanker payudara adalah 1 : 100 dari wanita (King, 2000). Menurut WHO 8-9% wanita akan mengalami kanker payudara. Kanker payudara merupakan penyebab utama kematian pada wanita di berbagai belahan dunia. Sebagian besar penderita kanker payudara (60-70%) terlambat mendapat pengobatan sehingga mengakibatkan kematian (Klauber-DeMore cit Pamilih, 2009). Setiap tahun lebih dari 250.000 kasus baru kanker payudara terdiagnosa di Eropa dan kurang lebih 175.000 di Amerika Serikat (Anonima, 2008).
Obat antikanker yang telah tersedia selain memiliki khasiat sebagai antikanker, obat tersebut juga bersifat merusak sel-sel yang tumbuh normal. Masalah lain pada kemoterapi yaitu obat-obat antikanker hanya efektif untuk beberapa periode saja (Meiyanto, 2003) serta adanya resistensi dari sel kanker terhadap obat-obat antikanker yang membuat antikanker tersebut tidak sensitif lagi terhadap sel kanker. Keadaan ini mendorong dilakukannya berbagai penelitian untuk menemukan antikanker yang diharapkan memiliki toksisitas selektif yaitu menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel jaringan normal (Ganiswara dan Nafrialdi, 2005). Usaha menemukan antikanker yang lebih spesifik dan sensitif dapat dilakukan diantaranya melalui eksplorasi tanaman obat yang diduga berkhasiat sebagai antikanker. Tanaman obat telah lama terbukti merupakan sumber obat baru dengan struktur molekul baru (Solinmar,dkk, 2002).
Salah satu tanaman obat yang diduga memiliki aktivitas sebagai antikanker yaitu kulit buah manggis (Garcinia mangostana L). Komponen senyawa yang terkandung dalam kulit buah manggis yaitu turunan xanthon diantaranya α-mangostin, β-mangostin, γ-mangostin, mangostanol, flavonoid epicatechin dan gartanin (Suksamrarn et al., 2003). Dari penelitian-penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa secara in vitro ekstrak metanol dari kulit buah manggis memiliki aktivitas antiproliferasi dan menginduksi apoptosis pada sel kanker payudara (Moongkarndi et al., 2004), α-mangostin memiliki aktifitas anti plasmodium falciparum (Mahabusarakam et al., 2006), serta dapat menginduksi apaptosis sel kanker darah dengan MIC (Minimun Inhibition Concentration) 10µM (Matsumoko et al., 2003). Selain itu secara in vitro α-mangostin menunjukkan potensi sitotoksik pada sel kanker payudara dengan IC50 sebesar 0,92 µg/ml (Suksamrarn et al., 2006).
Bentuk sediaan herbal dari tanaman obat yang sudah sejak lama digunakan oleh masyarakat antara lain infus, dekokta, dan teh. (Sudarsono, 2000). Cara pembuatan sediaan herbal ini hanya dengan menggunakan air dengan ataupun tanpa pemanasan. Sejauh ini masyarakat belum mengetahui bagaimana tingkat kemanjuran dari masing-masing sediaan herbal.
Dari fenomena diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang tingkat kemanjuran dari masing-masing sediaan herbal khususnya untuk sediaan herbal kulit buah manggis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh sediaan herbal teh dan infus kulit buah manggis (Garcinia mangostana L) terhadap kadar marker α-mangostin dan efek sitotoksiknya pada sel kanker payudara (T47D)

C. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkanlatar belakang yang diuraikan, maka diperoleh perumusan masalah yaitu :
1. Bagaimanakah pengaruh sediaan teh dan infus kulit buah manggis terhadap kadar α-mangostin ?
2. Apakah sediaan teh dan infus kulit buah manggis mempunyai pengaruh sitotoksik terhadap sel kanker payudara (T47D) ?
3. Apakah kadar α mangostin dalam kedua bentuk sediaan teh dan infus kulit buah manggis berbanding lurus dengan daya sitotoksiknya ?

D. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bentuk sediaan teh dan infus kulit buah manggis terhadap kadar α-mangostin dengan metode densitometer dan menentukan apakah kadar α-mangostin berbanding lurus dengan daya sitotoksiknya terhadap sel kanker payudara (T47D) dengan metode MTT Assay

E. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tanaman Manggis
a. Sistematika dan Klasifikasi Tanaman
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Classis : Dicotyledonae
Ordo : Guttiferales
Familia : Guttiferae
Genus : Garcinia
Spesies : Garcinia mangostana L.
(Hutapea,1994)
b. Nama Lain Manggis
Di Indonesia manggis dikenal dengan berbagai nama dari berbagai daerah, diantaranya yaitu di Jawa dikenal dengan nama manggu, manggis, di daerah Sulawesi Utara dikenal dengan nama Manggusto, di daerah Maluku dikenal dengan nama mangustang dan di Sumatera dengan nama manggista, manggoita, mangi, manggih (Hutapea, 1994).
c. Morfologi Tanaman
Manggis merupakan tumbuhan pepohonan, yang memiliki tinggi hingga 15 meter. Dengan batang berkayu, bulat, tegak bercabang simodial dan berwarna hijau kotor. Berdaun tunggal, lonjong, ujung runcing, pangkal tumpul tepi rata, pertulangan menyirip, panjang 20-25 cm lebar 6-9 cm, tebal, tangkai silindris hijau. Bunga tunggal, berkelamin dua, diketiak daun. Buah buringkali, bersalut lemlat berdiameter 6-8 cm dengan warna coklat keunguan. Biji bulat berdiameter 2 cm, dalam satu buah terdapat 5-7 biji (Hutapea, 1994).
d. Kandungan Kimia
Kulit buah manggis mengandung turunan xanthon antara lain α-mangostin, β-mangostin, γ-mangostin, mangostanol, flavonoid epikatekin dan gartanin (Suksamrarn et al., 2003), 3-Isomangostin, Mangostanol, Gertanin, Garcinone A, Garcinone B, Garcinone C, Garcinone D, Garcinone E, Maclurin (Anonimc, 2000). Struktur α-mangostin dapat dilihat pada gambar 1
1,3,6-Trihidroksi-7-metoksi-2,8-(3-metil-2-butenil) xanthone (Yu et al, 2007)
Gambar 1. Sruktur kimia α-mangostin



e. Kegunanaa Tanaman
Di masyarakat tanaman manggis selain digemari sebagai buah, akar manggis juga dikenal sebagai anti diare (Hutapea, 1994). Selain itu dari penelitian-penelitian sebelumnya kulit buah manggis dapat digunakan sebagai anti malaria (Mahabusarakam et al., 2006), antibakteri (linuma et al., 1996), antioksidan, antihipertensi ( Wang et al., 2002), antidaiabetes (Miura et al., 2001), antijerawat, dan antiTBC.
2. Kanker
a. Tinjauan Umum Kanker
Kanker disebut juga neoplasma, adalah suatu penyakit pertumbuhan sel di dalam organ tubuh dan berkembang biak sel-sel baru yang tumbuh abnormal, cepat dan tidak terkendali dengan bentuk, sifat dan gerakan yang berbeda dari sel asalnya, serta merusak bentuk dan fungsi organ asalnya. Sel kanker akan terus membelah diri karena lepas dari pengendalian pertumbuhan dan tidak lagi menuruti hukum-hukum pembiakan. Bila pertumbuhan ini tidak cepat dihentikan maka sel kanker akan berkembang menjadi besar. Selanjutnya sel kanker akan menyusup (invasive) ke jaringan sekitarnya lalu membuat anak sebar (metastatis) ke tempat yang lebih jauh melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening (Mangan, 2003).
Sel kanker kehilangan regulator yang mengatur proliferasi dan homeostatis karena adanya perubahan dinamis pada genom yaitu terjadinya mutasi yang menghasilkan onkogen dengan peran yang dominan dan tumor suppresor gen menjadi kehilangan peranannya (Hanahan and Weinberg, 2000).
Ciri-ciri sel kanker antara lain:
i. Kontrol pertumbuhan sudah hilang
ii. Daya melekat sel satu dengan yang lain berkurang
iii. Inhibisi kontak sudah tidak ada
iv. Sistem enzimnya lebih sedikit jumlah / macamnya, misalnya sel kanker tidak mempunyai asparagin sintetase
v. Enzim-enzim untuk pertumbuhan lebih besar dibanding sel normal
(Mulyadi, 1997)
b. Penyebab Kanker (Karsinogen)
Penyebab pasti dari kanker belum diketahui. Ada banyak faktor penyebab yang dapat menimbulkan kanker, namun hasil penelitian dan studi menyatakan dengan jelas bahwa sebagian besar dari timbulnya kanker dapat disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat. Karsinogen secara umum dapat diartikan sebagai penyebab yang dapat merangsang pembentukan kanker. Beberapa karsinogen yang diduga dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker sebagai berikut :
a) Senyawa Kimia (Zat Karsinogen)
Senyawa kimia bisa menyebabkan terjadinya kanker. Misalnya ter atau jelaga berupa cairan atau gas sebagai hasil pembakaran zat biologi seperti kayu. Di dalam ter banyak mengandung karsinogen berupa benzena, toluen, fenol, areosol. Pada biji kacang-kacangan yang ditumbuhi jamur Aspergilus flavus terdapat aflatoksin yang merupakan karsinogen alami dan dapat menyebabkan kanker hati (Sukardja, 2004)
b) Faktor fisika
Faktor fisika yang terutama adalah radiasi (penyinaran) yang berlebihan, terutama radiasi sinar matahari, sinar X (rontgen), elektromagnetik dan radiasi barbahan nuklir (Mangan, 2003). Radiasi dapat menyebabkan DNA mengalami mutasi. Sehingga kemampuan DNA dalam mengontrol suatu sifat dari suatu sel menjadi hilang. Sel dapat tumbuh dengan sendirinya tanpa ada signal pertumbuhan sel dan mempunyai sifat yang berbeda dengan sel yang normal sehingga menyebabkan terjadinya kanker (Mulyadi, 1007)
c) Virus
Beberapa jenis kanker disebabkan oleh virus, diantaranya adalah Rous Sarcoma Virus (RSV) penyebabkan kanker pada ayam, leukemia pada burung dan mamalia, Mork Disease Virus (MDV) penyebabkan limphoma pada ayam (Mulyadi, 1997). Human Papiloma Virus (HPV) penyebabkan perubahan paraneoplas dan neoplastik di dalam servik uteri. Kanker pada sel hepar yang disebabkan virus hepatitis B (HBV).
d) Hormon
Hormon adalah zat yang dihasilkan oleh kelenjar tubuh yang fungsinya adalah mengatur kegiatan alat-alat tubuh dan selaput tertentu. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa pemberian hormon tertentu secara berlebihan dapat menyebabkan peningkatan terjadinya beberapa jenis kanker seperti kanker payudara, indung telur dan prostat (kelenjar kelamin pria) (Sukardja, 2000). Salah satu hormon yang bertanggung jawab terjadinya kanker payudara dan kanker endoterium adalah hormon estrogen.
c. Karsinogenesis
Proses karsinogenesis adalah proses bertahap suatu multisteps process. Sedikitnya ada tiga tahapan dalam proses ini, yaitu:
1) Inisiasi (initiation)
Tahap pertama adalah permulaan atau inisiasi, dimana sel normal berubah menjadi pre-maligna. Karsinogen harus merupakan mutagen yaitu zat yang dapat menimbulkan mutasi gen. Pada tahap inisiasi karsinogen bereaksi dengan DNA, menyebabkan amplifikasi gen dan produksi copi multipel gen.
2) Promosi (promotion)
Promotor adalah zat non mutagen tetapi dapat menaikkan reaksi karsinogen dan tidak menimbulkan amplifikasi gen. Suatu promotor yang terkenal ester phorbol yang terdiri dari TPA (Tetradecanoyl Phorbol Acetate) dan RPA (12-Retinoyl Phorbol Acetate) yang terdapat dalam minyak kroton.
3) Progresi (progression)
Pada progresi ini terjadi aktivitas, mutasi atau hilangnya gen. Pada progresi ini timbul perubahan benigna menjadi pra-maligna dan maligna (Sukardja, 2000).
d. Sel Kanker Payudara T47D
Kanker payudara memperlihatkan proliferasi keganasan sel epitel yang membatasi duktus atau lobus payudara. Kanker membutuhkan waktu 7 tahun untuk tumbuh dari satu sel menjadi massa yang cukup besar untuk dapat dipalpasi (kira-kira berdiameter 1 cm). Pada ukuran itu, sekitar 25% kanker payudara sudah mengalami metastasis (Price, 2005).
Sel T47D merupakan sel kanker yang mengekspresikan reseptor estrogen atau yang biasa disebut ER positif serta mengekspresikan p53 yang telah termutasi. Pada sel ini p53 mengalami missense mutation pada residu 194 (dalam zinc-binding domain L2) sehingga p53 kehilangan fungsinya. Jika p53 tidak dapat mengikat respons elemen pada DNA, maka akan mengurangi atau menghilangkan kemampuan dalam meregulasi siklus sel dan memacu apoptosis (Schafer et.al., 2000 cit Pamilih, 2009)
e. Terapi Kanker Payudara
Terapi untuk kanker payudara dilakukan dengan serangkaian pengobatan meliputi pembedahan, kemoterapi, terapi hormon, terapi radiasi dan yang terbaru adalah terapi antibodi monoklonal. Pengobatan ini ditujukan untuk memusnahkan kanker atau membatasi penyebaran penyakit serta menghilangkan gejala-gejalanya. Keberagaman jenis kanker payudara mengharuskan dilakukannya diagnostik yang rinci sebelum memutuskan jenis terapi yang akan dipakai, sehingga pilihannya bersifat individual (Anonimb, 2008).
Terapi yang umum dilakukan untuk mengatasi kanker payudara antara lain adalah melalui operasi, radiasi, kemoterapi dan terapi hormon. Operasi dilakukan untuk kanker payudara stadium awal, dimana dikenal dua jenis operasi yaitu mastectomy dan lumpectomy. Perbedaannya, pada mastectomy dilakukan pengangkatan seluruh payudara sedangkan lumpectomy hanya mengangkat sel-sel kankernya saja. Radiasi dilakukan untuk membersihkan sisa-sisa sel kanker yang tersisa pasca operasi, sedangkan kemoterapi dan terapi hormon terutama dilakukan untuk kanker payudara stadium akhir dimana penyebaran sel-sel kanker sudah sangat luas dan sulit diangkat dengan menggunakan jalan operasi. Kemoterapi dan terapi hormon dilakukan dengan memberikan obat tunggal maupun kombinasi kepada pasien (Arum, 2008).
Terapi kanker payudara dengan menggunakan terapi hormon, terutama pada kanker payudara stadium akhir (IV) dimana sel kanker telah menyebar ke organ lain di dalam tubuh terutama pada tulang, lambung, hati atau otak sehingga pengangkatan sel kanker melalui jalan operasi sulit atau bahkan mustahil dilakukan. Tujuan terapi pada kanker payudara stadium awal adalah untuk menyembuhkan penyakit kanker payudara tersebut, namun jika seorang pasien sudah sampai pada stadium akhir (IV) maka kanker payudara tersebut sudah bersifat tidak dapat disembuhkan sehingga tujuan terapinya menjadi mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup serta memperlama waktu hidup pasien. Memang terdengar sangat pesimis, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pasien yang sudah mencapai stadium akhir sangat sulit bahkan tidak dapat disembuhkan. Dengan tidak mengurangi harapan hidup pasien, terapi terus dilakukan walaupun kemungkinan untuk sembuh bisa dikatakan sudah tidak ada (Anonimc, 2009).
Estrogen merupakan salah satu penyebab terjadinya kanker payudara. Pada terapi hormon terdapat beberapa golongan obat yang digunakan, antara lain adalah golongan antiestrogen yang salah satu obatnya adalah Tamoksifen yang juga merupakan first-choice drug dalam terapi kanker payudara. Tamoksifen merupakan prodrug dan metabolitnya, 4-hydroxytaminofen dan des-N-methyl-4-hydroxytaminofen (endoxifen) yang berkompetisi dengan estrogen untuk berikatan dengan reseptor estrogen. Dalam jaringan payudara, 4-hydroxytaminofen bertindak sebagai antagonis sehingga transkripsi gen respon estrogen dihambat, dengan demikian efek estrogen pun dapat dihambat. Terapi hormon umumnya diberikan secara tunggal karena penggunaan obat kombinasi tidak menunjukkan meningkatnya efek tetapi malah meningkatkan toksisitas (Anonimd, 2009).
3. Macam-macam Sediaan Herbal
Pengobatan secara tradisonal di masyarakat antaralain dengan menggunakan tanaman herbal yang secara empiris, uji praklinik maupun uji klinik memiliki aktivitas farmakologi. Macam-macam sediaan herbal yang dikenal di masyarakat antaralain :
a. Infusa
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit. Infus yang mengandung bukan khasiat keras dibuat dengan menggunakan 10% simplisia (Anonim, 1979). Simplisia dengan derajat halus yang sesuai dicampur dengan air secukupnya dalam panci dipanaskan diatas penangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90oC diserkai selagi panas dengan kain flanel (Anonim, 2000).
b. Decocta (dekok)
Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi sediaan herbal dengan air pada suhu 90o C selama 30 menit (Anonim, 1979).
c. Tea (teh)
Cara pembuatan teh yaitu air mendidih dituangkan ke simplisia didiamkan selama 5-15 menit dan disaring.
Derajat kehalusan simplisia untuk sediaan teh
ü Daun, bunga dan herba : rajangan kasar dengan ukuran lebihkurang 4 mm
ü Kayu, kulit dan akar : rajangan agak kasar dengan ukuran lebih kurang 2,5 mm
ü Buah dan biji digerus atau diserbuk kasar dengan ukuran lebih kurang 2 mm
ü Simplisia yang mengandung alkaloid dan saponin : serbuk agak halus dengan ukuran lebih kurang 0,5 mm (Sudarsono, 2000).
d. Tincture (tingtur)
Tingtur adalah sediaan cair yang dibuat dengan maserasi atau perkolasi simplisia dalam pelarut yang tertera pada masing-masing monografi. Kecuali dinyatakan lain, tingtur dibuat menggunakan 20% zat khasiat dan 10% untuk zat khasiat keras (Sudarsono, 2000).
4. Ekstraksi
Ekstrak tanaman adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani (Anonim, 2005). Ekstraksi atau penyarian merupakan peristiwa perpindahan masa zat aktif yang semula berada di sel ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam cairan hayati. Pada umumnya penyarian akan bertambah baik bila permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan penyari semakin luas. Metode dasar penyarian adalah maserasi, perkolasi dan sokletasi. Pemilihan terhadap ketiga metode tersebut disesuaikan dengan kepentingan dalam memperoleh sari yang baik (Anonim, 1986).
Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan bentuk, faktor cairan penyari yang baik. Penyari harus memenuhi kriteria sebagai berikut : murah, mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, netral tidak mudah menguap, selektif (hanya menarik obat berkhasiat yang dikehendaki), tidak mempengaruhi zat berkhasiat, diperbolehkan oleh peraturan (Backer dan Van De Brindh, 1986)
5. Sitotoksik
Uji sitotoksik adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan kultur sel yang digunakan untuk mendeteksi adanya aktivitas antineoplastik dari suatu senyawa. Penggunaan uji sitotoksisitas pada kultur sel merupakan salah stu cara penetapan in vitro untuk mendapatkan obat sitostatik. Sistem tersebut merupakan uji kualitatif dengan cara menetapkan prosen kehidupan sel. Hasil uji sitotoksik dapat ditentukan nilai IC50 yang menunjukkan potensi suatu senyawa sebagai sitistatik (Freshney, 1986).
Akhir dari uji sitotoksik dapat memberikan informasi konsentrasi obat maksimal yang masih memungkinkan sel mampu bertahan hidup. Akhir dari uji sitotoksisitas pada organ target memberikan informasi tentang perubahan yang terjadi pada fungsi sel secara spesifik (Doyle dan Griffiths, 2000)
Beberapa metode umum yang digunakan untuk uji sitotoksik adalah sebagai berikut :
a. Menggunakan biru tripan (Tripan Blue)
b. Menggunakan senyawa aktif radioaktif contohnya tritium berlabel timiden
c. Metode MTT assay
d. Perhitungan langsung (Junedyn 2005)
Uji MTT assay merupakan salah satu metode yang digunakan dalam uji sitotoksik. Metode ini merupakan metode kolorimetrik, dimana pereaksi MTT ini merupakan garam tetrazolium yang dapat dipecah menjadi kristal formazan oleh sistem suksinat tetrazolium reduktase yang terdapat dalam jalur respirasi sel pada mitokondria yang aktif pada sel yang masih hidup. Kristal formazon ini memberi warna ungu yang dapat dibaca absorbansinya dengan menggunakan ELISA reader (Doyle dan Griffith, 2000). Reaksi reduksi MTT menjadi formazan oleh enzim reduktasedapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Reaksi Reduksi MTT menjadi Formazan oleh Enzim Reduktase
6. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatogafi lapis tipis merupakan metode pemisahan komponen–komponen atas dasar perbedaan adsorbsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang atau pelarut pengembangan campur. Pemilihan pelarut pengembangan sangat dipengaruhi oleh macam dan polaritas zat–zat kimia yang dipisahkan. Fase diam yang umum dan banyak digunakan adalah silika gel yang dicampur dengan CaSO4 untuk menambah daya lekat partikel silika gel pada pendukung (pelat) absorban lain yang banyak dipakai adalah alumina, serbuk selulose, kanji dan sephadex (Mulya dan Suharman, 1995). Parameter pada kromatografi lapis tipis adalah faktor retensi (Rf), merupakan perbandingan jarak yang ditempuh solut dengan jarak yang ditempuh fase gerak. Adapun rumusnya sebagai berikut:
Jarak yangditempuh fase gerak (cm)
Rf =
Jarak yangditempuh solut (cm)
Harga Rf umumnya lebih kecil dari 1, sedangkan bila dikalikan dengan 100 akan berharga 1-100, sehingga parameter ini dapat digunakan untuk perhitungan kualitatif dalam pengujian sampel dengan kromatografi lapis tipis (Sumarno,2001).
7. Densitometri
Densitometri merupakan teknik analisis kuantitatif kelanjutan dari kromatografi lapis tipis. Densitometri merupakan pengukuran sifat-sifat absorbsi atau fluoresensi suatu zat langsung pada kromatogram lapis tipis menggunakan alat dengan sumber cahaya tunggal atau ganda, baik berdasarkan cahaya yang ditransmisikan maupun cahaya yang direfleksikan oleh bercak pada lempeng. Cara ini banyak digunakan dalam analisis farmasi karena sensitif dan reprodusibel. Pengukuran absorbsi maupun refleksi, dilakukan pada panjang gelombang yang memberikan absorbsi atau fluoresensi maksimum untuk memperoleh sensitivitas yang lebih besar
Spektrodensitometri merupakan spektrodensitometer yang mengukur absorbsi zat pada lapisan tipis. Pada dasarnya semua alat densitometer mempunyai desain yang sama, yaitu terdiri dari sumber cahaya, alat seleksi panjang gelombang, sistem kondensor dan fokus sistem optik, detektor fotosensitisasi, serta suatu mekanisme untuk menggerakkan lempeng ke bawah berkas cahaya terfokus guna men-scann lempeng tersebut.
Sumber cahaya yang digunakan tergantung panjang gelombang pengukuran. Untuk mengukur pada panjang gelombang ultraviolet (200-400 nm) dapat digunakan lampu deutorium (D2), merkuri atau xenon. Untuk pengukuran pada daerah panjang gelombang cahaya tampak (400-700 nm) dapat digunakan lampu tungsten, walfram. Sebagai alat seleksi panjang gelombang dapat digunakan monokromator, filter atau keduanya. Penggunaan monokromator lebih menguntungkan dibandingkan filter karena monokromator memungkinkan perubahan panjang gelombang dengan mudah dan menghasilkan sebuah berkas cahaya yang lebih monokromatis. Monokromator terdiri dari entrance slit, grating, cermin dan exit slit (Harmita, 2005).

F. HIPOTESIS
1. Bentuk sediaan herba kulit buah manggis mempengaruhi kandungan kadar marker α-mangostin.
2. Semakin tinggi kadar α mangostin semakin tinggi aktivitas sitotoksiknya terhadap sel kanker payudara (T47D)




G. METODE PENELITIAN
1. Definisi Operasional Penelitian
Penelitian pengaruh sediaan teh dan infus kulit buah manggis (Garcinia mangostana L) terhadap kadar marker α-mangostin dan efek sitotoksiknya pada sel kanker payudara (T47D) ini termasuk dalam kategori penelitian eksperimental
2. Variabel Penelitian
a) Variabel bebas : Bentuk sediaan teh dan infus, seri konsentrasi ekstrak kulit buah manggis (Garcinia mangostana L)
b) Variabel tergantung : % kadar α-mangostin, % sel yang hidup dan IC50 ekstrak kulit buah manggis terhadap sel T47D.
c) Variabel kendali : Waktu pengambilan herba, asal tanaman, waktu pemanenan, kepadatan sel dan lama inkubasi sel.
3. Bahan dan Alat
a) Bahan–bahan yang digunakan
i. Simplisia kulit buah manggis (Garcinia mangostana L)
ii. Standar α-mangostin
iii. Sel T47D, DMEM, FBS 10%, penstrep 2% dan fungizone 0,5%, aquadest, natrium bikarbonat, larutan MTT (3- (4,5 Dimetilltiazol-2-il), 2,5-difenil tetrazolium bromida) dalam PBS 20%, SDS 10% (Sigma), HCL 0,1N, DMSO 100%.
iv. Bahan untuk uji kualitatif secara KLT : pelat silika gel GF254 (fase diam), fase gerak yang digunakan metanol p.a, kloroform p.a, pereaksi emprot dengan anisaldehid-H2SO4 atau Vanilin-Asam sulfat .

b) Alat-alat yang digunakan
i. Peralatan dalam pembuatan serbuk : blender.
ii. Peralatan yang digunakan dalam penyarian : peralatan infus dan teh (panci infus, kompor, kain flanel, beker glass), penangas air.
iii. Peralatan dalam uji sitotoksik : tangki nitrogen cair, mikroskop fase kontras (Olympus, Jepang), penangas air, sentrifuge Sigma 3K12 (Braun Biotech International), inkubator CO2 Jacketed Incubator (NuaireTM IR autoflow), ELISA reader, hemositometer (New Bauer), tabung konikal steril (Nunclone), scraper, tissue culture flask (Nunclone), ampul, Laminar Air Flow (Nuaire), pH meter (Toa Electrics Ltd), mikroplate 96 sumuran (Nunclone), mikropipet (Soccorex), vorteks (Genie), timbangan elektrik (Sartorius), kamera digital (Olympus FE-280 8,0 mega pixels).
iv. Peralatan dalam uji kualitatif kandungan senyawa secara kromatografi lapis tipis densitometer : kertas saring, cawan penguap, lampu UV, pipa kapiler, bejana elusi, mikropipet, alat-alat gelas, alat densitometer.
4. Rencana Penelitian
a. Pengumpulan Bahan
Kulit buah manggis yang digunakan dalam penelitian ini dari Pasar Gede Surakarta, yang berasal dari Daerah Matesih Karanganyar

b. Pembuatan Serbuk
Kulit manggis tersebut dicuci dengan air bersih yang mengalir, kemudian di angin-anginkan agar komponen air menguap. Kulit buah manggis diserbuk dengan menggunakan blender.
c. Pembuatan Ekstrak
ü Sediaan Infus : 10 gram simplisia kering dibasahi dengan air seberat 2 kali berat simplisia 20 ml air dan ditambahkan dalam 100 mL air ke dalam panci, kemudian dipanaskan diatas penangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90oC sambil sekali-kali diaduk. Diserkai selagi panas melalui kain flanel. Kemudian ekstrak dikentalkan dengan menggunakan penangas air. Replikasi 3 kali.
ü Teh : 10 gram simplisia kering direndam dengan air mendidih sebanyak 100 mL selama 10 menit dan disaring. Kemudian ekstrak dikentalkan dengan mengguanakan penangas air.
d. Uji Kualitatif Kromatografi Lapis Tipis
Uji kualitatif kandungan senyawa pada ekstrak kulit buah manggis dilakukan dengan kromatografi lapis tipis. Ekstrak kulit buah manggis dilarutkan dalam pelarut yang sesuai. Larutan sampel ditotolkan pada plate silika gel GF254 yang merupakan fase diam, kemudian totolan tersebut dielusi dengan berbagai fase gerak yang diperoleh dari hasil orientasi. Plate tersebut kemudian dikeringkan dan diangin-anginkan. Untuk mengetahui apakah dalam ekstrak kulit buah manggis terdapat senyawa α-mangostin, dideteksi dengan pengamatan bercak menggunakan sinar UV 254 dan UV 366 dan pereaksi semprot seperti ; anisaldehid-H2SO4 atau vanilin_asam sulfat dan kemudian dihitung harga retardation factor (Rf).
e. Uji Kuantitatif Densitometri
Tahap yang dilakukan dalam analisis kuantitatif kandungan α-mangostin dalam kulit buah manggis yaitu :
a) Melakukan orientasi seri konsentrasi
Hal ini dapat dilakukan dengan cara membandingkan intensitas warna bercak antara sample (ekstrak kulit buah manggis) dengan standard α-mangostin yang dilihat secara visual pada hasil KLT atau dapat pula dibaca langsung pada alat densitometer untuk membandingkan luas areanya.
b) Pembuatan kurva baku
Dari hasil orientasi kemudian dibuat larutan stok α-mangostin dan beberapa seri kadar dengan cara pengenceran. Untuk stok dibuat larutan α-mangostin 1 mg/ml b/v dengan cara melarutkan 5 mg α-mangostin standard dalam 5 mL methanol, kemudian dikocok atau disonikator sampai larut. Dengan cara pengenceran dibuat seri kadar 0,1%, 0,075%, 0,05%, 0,025% b/v. Kemudian sejumlah 5µL seri larutan baku pembanding α-mangostin ditotolkan sejajar pada lempeng silika gel GF 254. Kemudian dielusi dengan fase gerak methanol : kloroform (3:7 atau 5:5 v/v). Luas area masing-msing bercak α-mangostin diukur secara densitometer
c) Penetapan kadar
Sejumlah 5 µL larutanpembanding seri kadar dan 5 µL ekstrak kulit buah manggis ditotolkan secara berjajar pada lempeng silika gel GF254, kemudian dikembangkan dengan fase gerak methanol : kloroform (3:7 atau 5:5 v/v). Luas area masing-masing bercak diukur secara densitometer. kadar α-mangostin yang terkandung dalam ekstrak kulit buah manggis dihitung dengan menggunakan kurva baku larutan pembanding α-mangostin.
f. Sterilisasi Alat
a) Sterilisasi LAF

Sterilisasi LAF dilakukan dengan menyalakan lampu ultraviolet 15 menit sebelum digunakan kemudian pintu LAF ditutup. Selanjutnya, lampu UV dimatikan, dibuka pintu LAF, dihidupkan lampu LAF dan semprot permukaan LAF dengan etanol 70% dan siap digunakan.
b) Sterilisasi alat
Alat-alat gelas yang akan digunakan dalam penelitian ini harus dalam keadaan steril dan dicuci dengan deterjen atau antiseptik, lalu dibilas dengan air yang bersih dan direndam dalam aquadest 1 jam kemudian dikeringkan dalam oven selama 24 jam. Setelah kering, alat-alat tersebut dibungkus dengan kertas payung dan dimasukkan ke dalam autoklaf selama 20 menit pada suhu 121oC

g. Uji sitotoksik terhadap sel T47D ............................
a) Pembuatan Media Kultur
Media kultur sel dibuat dengan cara mencampurkan FBS 10% (Fetal Bovine Serum) sebanyak 10 ml dengan fungizon 0,5% sebanyak 0,5 ml dan penstrep 2% sebanyak 2 ml kemudian ditambahkan larutan DMEM sampai 100 ml. Selanjutnya media kultur disimpan pada suhu 4°C.
b) Preparasi Sel
Sel yang inaktif dalam cryotube diambil dari tangki nitrogen cair pada suhu -85°C dan segera dicairkan pada suhu 370C kemudian disemprot etanol 70%. Cryotube dibuka dan sel dipindahkan ke dalam tabung conical steril yang berisi DMEM sebanyak 10 ml. Suspensi sel disentrifus dengan kecepatan 750 rpm selama 5 menit, kemudian bagian supernatan dibuang. Pellet ditambah media penumbuh DMEM sebanyak 5 ml, diresuspensi hingga homogen, selanjutnya sel ditumbuhkan dalam beberapa tissue culture flask kecil (2-3 buah). Sel diinkubasi dalam inkubator CO2 5% pada suhu 370C. Setelah 24 jam, medium diganti dan sel ditumbuhkan lagi hingga konfluen dan jumlahnya cukup untuk penelitian.
c) Panen Sel
Setelah jumlah sel cukup, medium dibuang dan sel dicuci dengan cara ditambah larutan PBS dan jika perlu resuspensikan perlahan, larutan tersebut dibuang, sel ditambah larutan tripsin 0,05 % sebanyak 700μl, dimasukkan dalam inkubator CO2 selama 5-10 menit agar tripsin bekerja dengan baik. Kemudian sel diamati di bawah mikroskop inverted untuk memastikan apakah sel sudah terlepas atau belum dari tissue culture flask. Setelah sel lepas dari tissue culture flask kecil ditambahkan media kultur 5 ml agar reaksi tripsin 0,05 % dapat dihentikan. Sel dipindah ke dalam tabung conical steril dan ditambah PBS 10 ml. Selanjutnya diambil 10 μl dan dihitung jumlah selnya menggunakan haemocytometer. Suspensi sel ditambah sejumlah medium kultur sehingga diperoleh konsentrasi sel sebesar yang diperlukan (1,5 x 104 sel per 100 μl) dan siap digunakan untuk uji sitotoksik.
d) Pembuatan Larutan Uji
Larutan stok sampel dibuat dengan cara melarutkan 20 mg sampel ke dalam 100 μl DMSO dan ditambahkan 900 μl media kultur. Sehingga diperoleh konsentrasi 20.000 μg/ml. Dari stok yang telah dibuat, digunakan untuk membuat berbagai seri konsentrasi yaitu 62,5; 125; 250; 500; 1000 μg/ml. Konsentrasi yang dibuat ini adalah dua kali dari konsentrasi yang diinginkan yaitu 31,25; 62,5; 125; 250; 500 μg/ml. Seri konsentrasi dibuat dalam tabung kecil kemudian dipindahkan ke dalam microplate 96. Semua proses ini dilakukan di dalam Laminar Air Flow cabinet.


e) Uji Sitotoksik
Suspensi sel dalam media kultur sebanyak 100 μl (kepadatan 1,5 X 104 sel/sumuran) dimasukkan ke dalam plate 96 dan plate diinkubasi selama 24 jam dalam inkubator CO2 5%. Kemudian ditambahkan sampel 100 μl dalam medium pada tiap sumuran yang berbeda sehingga diperoleh kadar akhir sampel dengan variasi kadar (31,25 μg/ml, 62,50 μg/ml, 125 μg/ml, 250 μg/ml, dan 500 μg/ml). Selanjutnya plate diinkubasi dalam inkubator CO2 5% selama 24 jam, kemudian media dibuang dan ditambahkan 110 μl campuran media kultur dan MTT 5 mg/ml (100 μl media kultur + 10 μl MTT 5 mg/ml). Selanjutnya sel disimpan kembali dalam inkubator CO2. Setelah inkubasi berjalan 4 jam, ditambahkan SDS (Sodium Didecyl Sulfate) 10% sebanyak 100 μl/sumuran dan dishaker selama 5 menit. Selanjutnya plate diinkubasi selama 24 jam pada suhu kamar untuk melarutkan formazan yang merupakan hasil reaksi antara enzim mitokondria sel hidup dengan MTT. Pada akhir masa inkubasi serapan dibaca dengan ELISA reader pada panjang gelombang 595 nm. Dari data absorbansi yang diperoleh kemudian dihitung persentase sel hidup.
5. Teknik Analisiss
i. Uji Kulitatif
Hasil elusi dari KLT dilihat harga Rf antara sampel yang dibandingkan dengan standar α mangostin
Jarak yang ditempuh fase gerak (cm)
Rf standard =
Jarak yang ditempuh standar α mangostin (cm)

Jarak yang ditempuh fase gerak (cm)
Rf sampel =
Jarak yang ditempuh ekstrak kulit manggis (cm)
ii. Uji Kuantitatif
Dari hasil KLT akan dilanjutkan pada Uji kuantitatif menggunakan densitometri.
y = bx + aPembuatan kurva baku regresi linear antara konsentrasi vs luas area

x = konsentrasi
y = luas area
Dari luas area sampel yang didapatkan dimasukkan dalam kurva baku
iii. Uji Sitotoksik
Data yang diperoleh dihitung persentase sel hidup dengan menggunakan rumus:
(Abs perlakuan – Abs kontrol media)
% sel hidup = x 100%
(Abs kontrol negatif – Abs kontrol media)

Kontrol media : media tanpa ekstrak dan tanpa sel
Kontrol negatif : media + sel
Kontrol perlakuan : media + sel + ekstrak
Kemudian dilanjutkan analisis statistik dengan uji korelasi menggunakan metode probit untuk menentukan persamaan garis regresi dan menentukan harga IC50.
Persamaan regreasi linier dibuat antara log konsentrasi vs probit
y = bx + a

x = Log konsentrasi
y = Angka probit dari % sel hidup















6. Skema Jalannya Penelitian
Skema jalannya penelitian pengaruh sediaan teh dan infusa kulit buah manggis terhadap kadar marker α-mangostin dan uji sitotoksiknya pada sel kanker payudara T47D dapat dilihat pada Gambar 3.
Sterilisasi
Pengumpulan simplisia iiissimplisibahan
Pencucian dan pengeringan pengepengeringan
Pembuatan media
Pembuatan serbuk
Teh
Penangas air
Ekstrak kulit buah manggis
KLT
Preparasi sel T47D
Penumbuhan sel
Perhitungan kepadatan sel
Sel T47D siap digunakan
Pemanenan sel
Uji sitotoksik
Infusa
Densitometer














Gambar 3. Skema Jalannya Penelitian


Skema kerja pembuatan sediaan infusa dan teh dari kulit buah manggis dapat dilihat pada Gambar 4.
10 g Serbuk herba kering kulit buah manggis

Direndam dengan 100ml air mendidih selama 5-15 menit
Direbus dengan 100 ml dan 20 ml air pada suhu 90°C selama 15 menit






Diserkai selagi panas
Disaring



Sediaan Teh
Sediaan Infusa

Gambar 4. Skema Pembuatan Infusa dan Teh









Sel sebanyak 100µl (kepadatan 1,5 X 104 sel/sumuran)
Skema kerja uji sitotoksik ekstrak etil asetat herba bandotan terhadap sel T47D dapat dilihat pada Gambar 5.


Dimasukkan ke dalam plate 96

Diinkubasi di dalam inkubator CO2 selama 24 jam
Ditambahkan ekstrak etil asetat herba bandotan 100µl

Diinkubasi dalam inkubator CO2 selama 24 jam

Medium dibuang

Ditambah media kultur sebanyak 100 µl

Ditambah reagen MTT sebanyak 10 µl

Diinkubasi dalam inkubator CO2 4 jam

Dikeluarkan ditambah SDS sebanyak 100 µl

Dishaker selama 5 menit

Diinkubasi semalaman pada suhu kamar

Dibaca absorbansinya dengan menggunakan ELISA reader

Dihitung % sel hidup

Gambar 5. Skema Uji Sitotoksik Ekstrak kulit manggis
terhadap Sel T47D
H. JADWAL PENELITIAN

Tahap
Waktu
Kegiatan
Persiapan
dua bulan
Studi pustaka
Persiapan alat dan Bahan
Pelaksanaan


Tiga bulan
Pengumpulan bahan,
Pembuatan ekstrak,
Uji KLT-Densitometer,
Uji sitotoksik
Penyusunan
Tiga bulan
Analisis data dan
penyususnan laporan












I. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia edisi III, 9, 65, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 1986, Sediaan Galenik ,10, 11, 16, 17, 25, 26, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Anonima, 2009, Kanker Menurut WHO, (online), (http://www.relawan.net, diakses 19 Juni 2009)
Anonimb, 2008, Kanker Payudara, (Online), (http://www.id.wikipedia.org/wiki/kanker payudara, diakses 29 Agustus 2009)
Anonimc, 2009, Terapi Baru Untuk Kanker Payudara Turunan, (Online), (http://dokter.us/terapi-kanker-payudara-dng-tnj/, diakses 11 November 2009)
Anonimd, 2009, Kanker Payudara, (online), http://terapikanker.com/ diakses 11 November 2009)
Arum, M.S., 2008, Terapi Hormon Pada Kanker Payudara Stadium Akhir, (Online), http://yosefw.wordpress.com/2008/01/01/terapi-hormon-pada-kanker-payudara-stadium-akhir/ diakses 11 November 2009)
Doyle, A., Griffith, S .J . B., 2000. Cell and Tissue Culture for Medical Research, 49, John Willey and Sons, Ltd., New York.
Dwiatmaka, Y., 2000, Skrinning Tanaman Berkhasiat Antikanker dengan Metode BST dalam Yuswanto, Ag., Sinaradi, F., (Eds), KANKER, Penerbit Sanata Dharma, hal.103.
Freshney, R. L., 1986, Animal Cell Culture, a Practical Appoach, 1 st ed., IRL Press, Washington D.C
Hanahanan , D., and Winsberg,R.A., 2000, The Hallmarks Of cancer, Celm, Cell Press.
Harmitta, I.G.A,. 2005, Buku Pegangan Kuliah Kromatografi, 101-102, Universitas Setia Budi, Surakarta.
Hutapea. R., 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (III). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI. Jakarta
Junedy, S., 2005, Isolasi dan Uji Sitotoksisitas Senyawa Alkaloid dari Spon Koleksi no MD-02 Cyang, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
King, R. J. B., 2000, Cancer Biology, Second Edition, Person Education Limited, London.
Linuma,M., Tosa,H., Tanaka,T., Asai,F., Kobayashi,Y., Shimano,R., Miyauchi,K., 1996, Antibacterial activity of xanthones from guttiferaeous plants against methicillin-resistant Staphylococcus aureus, Pubmed Japan
Mahabusarakam,W., Kuaha,K., Wilairat,P., Taylor,W.C., 2006, Prenylated xanthones as potential antiplasmodial substances, Planta Med, Thailand.
Mangan, 2003, Cara Bijak Menaklukkan Kanker, Agremedia, Jakarta
Matsumoto,K., Akao,Y., Yi,H., Ohguchi,K., Ito,T., Tanaka,T., Kobayashi,E., Iinuma,M., Nozawa,Y., 2004, Preferential target is mitochondria in alpha-mangostin-induced apoptosis in human leukemia HL60 cells. Med Chem Japan
Melannisa, R., 2004, Pengaruh PVG-1 pada Sel Kanker Payudara T47D yang Diinduksi 17ß-Estradiol: Kajian Antiproliferasi, Pemacuan Apoptosis, dan Antiangiogenesis, Tesis, Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta
Moongkarndi,P., Kosem,N., Kaslungka,S., Luanratana,O., Pongpan,N., Neungton,N., 2004, Antiproliferation, antioxidation and induction of apoptosis by Garcinia mangostana (mangosteen) on SKBR3 human breast cancer cell line., Pubmed (Thailand)
Mulya, M. dan Suharman, 1995, Analisis Instrumental, Cetakan Pertama, Penerbit Airlangga University Press, Surabaya.
Mulyadi, Mulyani,S., dan Yuliati, S., 1996, Uji Toksisitas akut sari air, metanol, kloroform dan eter minyak tanah Dendrophthoe Pentandra Miq pada Artemia Salina Leach, Buletin ISFI, 2 (4), hal.39-40.
Mulyadi, 1997, Kanker: Karsinogen, Karsinogenesis, dan Antikanker, PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.
Nafrialdi dan Gan, S., 2005, Farmakologi dan Terapi : Antikanker dan Imunosupresan, Edisi 4, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Pamilih, H. 2009, Uji Sitotoksik Ekstrak Etil Asetat Herba Bandotan (Ageratum Conyzoides L.) Terhadap Sel Kanker Payudara (T47D) Dan Profil Kromatografi Lapis Tipis, Fakultas Farmasi UMS, Surakarta
Price , S. A., 2005, Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit, Volume 2, 1303, EGC, Jakarta.
Sonlimar, M., Sismindari, dan Mustofa, 2002, Uji Sitotoksik In Vitro Ekstrak Kloroform Brucea Javanica L.(Meer), Ipomea batatas Poir.,Mussaenda pubescens Ait. F., dan Portulaca oleracea L., Terhadap Sel Hela, Majalah Farmasi Indonesia,13(4), Hal.215-222 Yogyakarta.
Sudarsono, 2000, Acuan Sediaan Herbal, Departemen Kesehatan RI, Direktorat POM, Jakarta
Sukardja, I., G., D., 2004, Onkologi, Edisi 2, 113, Airlangga University Press, Surabaya.
Sumarno, 2001, Kromatografi Teori Dasar, Bagian Kimia Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Yogyakarta.
Supardjan, A.M., dan Meiyanto, E., 2002, Efek antiproliferatif Pentagamavunon-O Terhadap Beberapa sel Kanker, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Suksamrarn,S., Suwannapoch,N., Ratananukul,P., Aroonlerk,N., 2002. Xanthones from the green fruit hulls of Garcinia mangostana. J Nat Prod 761–763.
Suksamrarn,S., Suwannapoch,N., Phakhodee,W., Thanuhiranlert,J., Ratananukul,P., Chimnoi,N., Suksamrarn,A.. 2003. Antimycobacterial activity of prenylated xanthones from the fruits of Garcinia mangostana. Chem Pharm Bull (Tokyo) 857– 859.
Suksamrarn S, Komutiban O, 2006. Cytotoxic prenylated xanthones from the young fruit of Garcinia mangostana. Chem Pharm Bull (Tokyo) 301–305.
Yu,L., Jiang,Y., 2007. Phenolics from hull of Garcinia mangostana fruit and their antioxidant activities. Food Chem 176–181,Wiley Inter Science